Makalah Bank Muamalah Konterporer
MAKALAH
BANK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“FIQIH
MUAMALAH KOTERPORER”
Dosen Pengampu :
NUR AZIZ MUSLIM, M.H.I
Disusun oleh : MBS 3 D
1. Budi Ahmad Romadhon (12405173151)
2. Sita Dyah
Ayuningrum (12405173155)
3. Willyam Adi
Nugroho (12405173177)
JURUSAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan
semesta alam, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan serta ampunan. Semoga
shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, seluruh
keluargannya, para sahabat, serta seluruh kaum muslimin.
Selesainya
makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Karena itu kami ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Nur Aziz Muslim,M.H.I selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penulisan makalah ini sehingga dapat kami selesaikan.
2.
Teman-teman MBS-2D yang telah
mendukung, memberi semangat serta partisipasinya serta pihak yang sudah
membantu.
Dengan
adanya makalah ini, para pembaca diharapkan dapat memahami mengenai Sejarah Peradaban Ekonomi Islam.
Selanjutnya, kami menyadari bahwa apa yang kami tulis dalam
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan.
Sekian, mudah-mudahan Allah SWT meridhai makalah ini, sehingga
bermanfaat bagi semuanya.
`
Tulungagung, 1 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul.......................................................................................................... i
Kata
Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................ 4
B.
Rumusan Masalah....................................................................................... 4
C.
Tujuan......................................................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bank................................................................................. . 5
B.
Sejarah
Tentang Bank........................................................................ 6
C.
Sejarah
Bank Syariah......................................................................... 7
D.
Bunga
dan pendapat Para Ulama....................................................... 8
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................ 9
B.
Saran.................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana telah diketahui bahwa bank adalah sebuah lembaga intermediasi
keuangan. Umumnya didirikan dengan
kewenangan untuk menerima simpananuang, meminjamkan uang, dan menerbitkan
promes atau yang dikenal sebagai banknote. Peranan bank dewasa ini sangat dominant dalam perekonomian
masyarakat di Indonesia pada umumnya. Hampir setiap kegiatan
perekonomian masyarakattidak terlepas dari
peran bank maupun lembaga keuangan lainya diluar bank. Dalam
menjalankan aktifitasnya, bank menawarkan berbagai produk yang berisi
kegiatan pendukung perekonomian masyarakat, mulai dari jasa menabungkan uang
masyarakat pengiriman uang atau jasa-jasa yang lainnya intinya mempermudah
masyarakat melakukan aktifitas bisnis dan perekonomian sehari-hari. Sebagian masyarakat sendiri secara tidak
sadar telah merasa tergantungdengan kegiatan bank tersebut untuk
melakukan aktifitas perekonomiannya, mulaidari
berbelanja sehari-hari sampai sekedar untuk pengisian pulsa bagi teleponselularnya.
Hal ini bukan hanya sekedar trend dalam masyarakat, tetapi
memang perkembangan jaman dan teknologi serta perkembangan kebutuhan
masyarakat sehingga menuntun peran besar perbankan dalam sendi-sendi kehidupan
perekonomian pada saat ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Bank
2.
Sejarah
Tentang Bank
3.
Sejarah
Bank Syariah
4.
Bunga
dan pendapat Para Ulama
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
apa itu Bank
2.
Mengetahui
sejarah tentang Bank
3.
Mengetahui
sejarah Bank Syariah
4.
Mengetahui
apa itu Bunga dan pendapat Para Ulama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank
Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No.
9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank umum bersifat umum,
artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank umum sering
disebut bank komersial (commercial bank). Bank umum atau yang lebih dikenal
dengan bank komersial merupakan bank yang paling banyak beredar di Indonesia.
Bank umum memiliki berbagai keunggulan jika di bandingkan dengan BPR, baik
dalam bidang ragam pelayanan maupun jangkauan wilayah operasinya. Artinya bank
umum memiliki kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan dapat beroperasi
diseluruh wilayah. Bank Umum menurut kepemilikan modalnya dibedakan menjadi :
Bank Umum milik Negara, yaitu Bank Umum yang seluruh atau
sebagian besar modalnya milik Negara, contoh : BRI, BNI, Mandiri.
Bank Umum milik swasta, yaitu Bank Umum yang modalnya
dimiliki oleh perseorangan, baik swasta, nasional, maupun swasta asing. Contoh
bank swasta milik nasional : Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Permata, Bank
Lippo. Adapun contoh Bank Umum milik swasta asing seperti : Bangkon Bank,
Hongkong Bank, Citibank, Bank of Tokyo. Bank Umum milik Koperasi, yaitu bank
umum yang modalnya berasal dari perkumpulan koperasi. Contohnya : Bank Umum
Koperasi Indonesia (Bukopin).[1]
B.
Sejarah Singkat Tentang Bank
Bank Indonesia
(BI) berawal dari De Javasche Bank NV (DJB) yang didirikan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 24 Januari 1827. Pada waktu itu, DJB bertindak
sebagai bank sirkulasi dan menjalankan beberapa fungsi bank sentral lainya
serta melakukan kegiatan bank umum. Pemerintah Belanda memberikan hak oktrooi
kepada DJB, yaitu hak untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden Belanda.
Pada
tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan
tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang
melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank
Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun
1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU
No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada
tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek
penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia,
termasuk penguatan governance.
Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas
sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan
nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan
terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
C.
Sejarah Bank Syariah
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan
global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan
syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga
keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta
keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan
para penyimpan dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank
Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan
kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari
pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu
memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan
syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa
perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan
signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Langkah
strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit
Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank
syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan
Undang – Undang perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU No.7
tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.[2]
D.
Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan
nilai mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian
pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah
bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh
persen. Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh
bank-bank konvensional (non Islam) sebagai suatu lembaga
keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan
kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha,
yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga
diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni
riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente
(bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif. Namun demikian, pada
hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama saja prakteknya, dan
juga memberatkan bagi peminjam. Maka dari itu solusinya adalah dengan
mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan
operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam. Sudah barang
tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan
bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu dilarang oleh
Islam. Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan
berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang
mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Unsur-unsur
yang terhindar dari riba
1.
Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau
deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana
dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat
berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank
berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya
tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya
membutuhkan
2.
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan
pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan
cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk
perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi
yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty.
Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3.
Musyarakah/
syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja
sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada
usaha patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak
berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya
bersama atas dasar perjanjian tersebut.
4.
Murabahah (jual
beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian
yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin
merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual
beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan
system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh
pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus)
atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini
ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang
sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) daripada cost plus-nya itu.
5.
Qargh
Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent
loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan)
kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank
Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank
kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari
bank Islam.
6.
Bank
Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi
langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank
sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi
patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan
perjanjian profit and loss sharing.
7.
Bank
Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola
zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang
terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan
agama dan umum.
8.
Bank
Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
1. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh
bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya
telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah
dan sebagainya.
2. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan
pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang
disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.[3]
Pendapat
Yang Mengatakan Bunga Bank Bukan Riba
Segelintir Ulama di negara-negara Timur Tengah dan
beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah
sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa
tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang
secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim
Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap
Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan
Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa
riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang
jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga
bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang
pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
Di Indonesia, pendapat yang mengemuka adalah pendapat
pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia,
Syafruddin Prawiranegara. Dalam bukunya Benarkah Bunga Bank Riba (1993) yang
diterbitkan penerbit Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika bunga, walaupun dalam
bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka
larangan ini akan menempatkannya pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal,
dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari Barat dan Timur
Tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat
dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga seperti
ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.”
Pada halaman 43 Syafruddin berkata “…riba adalah semua
bentuk keuntungan yang berlebih-lebihan yang didapat lewat pekerjaan yang
salah. Bunga yang bersifat komersial dan normal diizinkan dalam Islam.”
Selanjutnya pada halaman 36, ia berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, saya
tidak mendapati satu ayat pun dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad yang
dapat menyalahkan tafsir saya tentang riba.
Mohamad Hatta berpendapat, bunga bank untuk
kepentingan produktif bukanlah riba, tetapi untuk kepentingan konsumtif riba.
Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan
karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak
perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam
(PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur
lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung
unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan
(konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan
Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba.
Pendapat
Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan
al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan,
pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau
pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas
jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang.[15] Maka apa yang sebenarnya
diharamkan?
Pribadi yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan
itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau melarang mengambil
hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu
pinjaman. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika
seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh
menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda,
“Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya
makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya
terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba
dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa
bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’
terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei
1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas
berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk
bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa
pengharaman bunga bank, yaitu:
a. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang
diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember
1985;
b. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6
Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
c. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
d. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember
1999;
e. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir,
1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk
mayoritas muslim yang terlambat mempromosikan gagasan perbankan Islam, namun
Majelis Ulama Indonesia (”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004
tentang Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:
1.
Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini
termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
2.
Praktek
Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,
Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan
oleh individu.[4]
D.
Bunga Menurut Para Ulama
Persamaan
Riba dan Bunga Bank
Merujuk dari
penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, dapat disimpulkan bunga
sama dengan riba karena secara riil operasional di perbankan konvensional,
bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang
dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan
pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya
konsep pinjam meminjam dikenal dengan namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan
pinjaman kebajikan. Dimana Allah SWT, berfirman : “Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q. S Al-Baqarah : 245) Pinjaman qardh tidak
ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu
juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli,
sewa maupun bagi hasil. Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara
konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang telah
diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut : “Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan
juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah
mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu
semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah).
Hukum Bunga
Bank dalam Pandangan Islam
Seluruh
‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun
banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya
berhak atas pokok hartanya saja. Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah
menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia
dipungut. Allah swt berfirman:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبالايَقُومُونَإِلَّاكَمَايَقُومُالَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُمِنَالْمَسِّذَلِكَبِأَنَّهُمْقَالُواإِنَّمَاالْبَيْعُمِثْلُالرِّباوَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبافَمَنْجَاءَهُمَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِفَانْتَهَىفَلَهُمَاسَلَفَوَأَمْرُهُإِلَىاللَّهِوَمَنْعَادَفَأُولَئِكَأَصْحَابُالنَّارِهُمْفِيهَاخَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,”
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوااتَّقُوااللَّهَوَذَرُوامَابَقِيَمِنَالرِّباإِنْكُنْتُمْمُؤْمِنِينَ،فَإِنْلَمْتَفْعَلُوافَأْذَنُوابِحَرْبٍمِنَاللَّهِوَرَسُولِهِوَإِنْتُبْتُمْفَلَكُمْرُؤُوسُأَمْوَالِكُمْلاتَظْلِمُونَوَلاتُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw
دِرْهَمُرِبَايَأْكُلُهُالرَّجُلُوَهُوَيَعْلَمُأَشَدُّمِنْسِتٍّوَثَلَاثِيْنَزِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia
mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh
kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَاثَلاثَةٌَوَسَبْعُوْنَبَابًاأَيْسَرُهَامِثْلُأَنْيَنْكِحَالرَّجُلُأُمَّهُ,وَإِنَّأَرْبَىالرِّبَاعَرْضُالرَّجُلِالْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan
seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba
adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَآكِلَالرِّباَوَمُوْكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِ,وَقَالَ:هُمْسَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang
memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka
semua sama”. (HR Muslim).
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu
Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’.
Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama
al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat
berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya
beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para
shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab,
“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh
wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah
riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi,
dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim][2].Dan umat
Islam telah berpendapat mengenai keharaman riba.
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab
al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya
didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama
al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa
yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass”
(orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang
yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275] Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah
hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil,
saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam
mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global.
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin
disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa
besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang
yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan
RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab
al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa
zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga
menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan;
kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih
Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba
jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan,
telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba
nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan
al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits
shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah
menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ulama saat ini sesungguhnya
telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi,
muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra
menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak
satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh.
Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The
Future of Islamic Econmic,( 2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan
bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga
telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai
negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi
sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
Menurut Hosen dan Hasan Ali (PKES, 2008:12) beberapa
alasan mengapa bunga menjadi dilarang dalam Islam, diantaranya adalah:
1.
Bunga (interest) sebagai biaya
produksi yang telah ditetapkan sebelumnya cenderung menghalangi terjadinya
lapangan kerja penuh (full employment) (MA Khan, 1986: Ahmad, 1952: Mannan,
1986).
2.
Krisis-krisis moneter internasional
terutama disebabkan oleh institusi yang memberlakukan bunga (MA. Khan, 1986).
3.
Siklus-siklus bisnis dalam kadar
tertentu dinisbahkan kepada fenomena bunga (Ahmad, 1952: Su’ud, 1980).
4.
Teori ekonomi modern yang berbasis
bunga ini belum mampu memberikan justifikasi terhadap eksistensi bunga (Khan
dan Mirakhor, 1992). Pandangan Islam tentang Riba & Bunga Bank
Majelis ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa
tentang bunga bank (interest/fai’dah), yaitu;
1.
Bunga (interest/fa’idah) adalah
tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al qaradh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka,
dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2.
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa
imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan
sebelumnya.
Praktek pembangunan haram hukumnya, baik yang
dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pengadaian, koperasi dan lembaga
keuangan lainnnya maupun dilakukan oleh individu.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir. 2010. Pemasaran Bank. Media Grafika. Jakarta.
Warman A. Karim Adi, Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta : PT Raja Grafindo Persada (Jakarta : 2004).
Maulana Muhammad Ali, The Religion of
Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950.
[1] Kasmir. 2010. Pemasaran Bank. Media
Grafika. Jakarta. Hal.5
[2] Warman A. Karim Adi,
Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
(Jakarta : 2004).hal. 12
[3]
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah
Anjuman Isha’at Islam, 1950. hlm. 721.
Komentar
Posting Komentar