MAKALAH ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI
MAKALAH
“ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu :
Siti Kalimah, M.Sy.
Disusun oleh kelompok 4 :
1.
MUHAMMAD AGHNA ARY K.S. 12402173651
2. ELOK VEBIWARDANA 12402173655
3. DEWI RETNO
WATI 12402173664
4. DELLA
ARTITA ANDY PUTRI 12402173678
ES IV O
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
MARET
2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, serta
hidayah-nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Etika Bisnis Islam. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang, yakni agama Islam.
Dengan harapan semoga
makalah yang berjudul “Etika Islam dalam Bidang Konsumsi”
ini, dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami mohon maaf atas kekurangan yang
ada pada makalah ini. Maka kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini
tentu sangat kami harapkan dari semua pihak.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Tulungagung,
4 Maret 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
Cover....................................................................................................................... i
Kata
Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar
Isi...............................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................... 1
- Latar Belakang..................................................................................... 1
- Rumusan
Masalah................................................................................. 1
- Tujuan
Masalah.................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A. Batasan
konsumsi dalam Islam............................................................. ...... 3
B.
Perbedaan Antara
Kebutuhan dan Keinginan........................................... 4
C.
Orientasi Pada
Dharuriyyah Khomsah................................................. ....
7
BAB
III PENUTUP....................................................................................... .... 10
- Kesimpulan........................................................................................... 10
- Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konsumsi
merupakan pemakaian atau penggunaan manffaat dari barang dan jasa. Sehingga
konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi, tetapi tujuan yang paling
utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sesorang. Islam adalah agama
komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang mengatur egala tingkah
laku manusia, bahkan tidak ada satu sistem kemasyarakatan, baik modern atau
lama yang menetapkan etika untuk manusia dan mengatur segala aspek kehidupan
manusia sampai pada persoalan yang detail selain Islam, termasuk dalam hal
konsumsi.
Selian itu perbuatan
untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap
sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang diciptakan Allah swt untuk
manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia,
yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an : “ .... dan
makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan
kehendakmu ..., “ dan menyuruh semua umat manusia : “ Wahai umat manusia,
makanlah apa yang ada di bumi dengan cara sah dan baik.” Karena itu orang
mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-Nya dan memuaskan
dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah)
untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam
selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur’an : “Katakanlah, siapakah yang melarang
(anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan untuk hamba-hamba-Nya
dan barangbarang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?).
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
saja batasan konsumsi dalam Islam ?
2. Apa
saja perbedan antara kebutuhan dan keinginan ?
3. Apa
saja orientasi pada dharuriyyah khomsah ?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui Batasan konsumsi dalam islam.
2. Mengetahui
apa perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.
3. Mengetahui
orientasi pada dharuriyyah khomsah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Batasan Dalam
Konsumsi Menurut Islam
Secara
bijaksana Al-Quran telah menginformasikan suatu larangan berdimensi sosial
untuk kesejahtraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir
orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta meliputi dua macam, antara lain :[1]
1.
Larangan
bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta.
Keseimbangan yang diciptakan Alloh dalam
bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal yaitu Al-Quran
dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan dengan mengambil te ladan
Nabi dan Rosul dan orang-orang beriman yang lalu (As-Salafus Sholeh) membawa dampak terhadap distribusi pemerataan
tingkat kesejahteraan. Sifat kikir harus dikikis dengan menumbuhkan kesadaran
bahwa harta adalah amanah dari Alloh yang harus dibelanjakan sebagian dari
harta tersebut kepada orang-orang yang berhak sebagaimana firman Alloh surah
Al-Ma’arij ayat 19, yang artinya “Sesungguhnya manusia diciptakan berifat keluh
kesah lagi kikir”. Larangan kikir terhadap harta menunjukan bahwa sifat ini
menunjukan kurangnya nilai kepekaan sosial. Sifat kikir akan mengarahkan
manusia kepada sifat sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta
yang dimiliki adalah jerih payahnya sendiri. Sifat kikir tumbuh dari prilaku
menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta tersebut serta menganggap
bahwa harta tersebut dapat mengekalkan hidupnya.
2.
Larangan
berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan
Islam membenarkan pengikutnya menikmati
kebaikan dunia. Hidup sederhana adalah tradisi islam yang mulia, baik dalam
membeli makanan, minuman, pakaian, rumah, dan segala apapun. Namun islam
melarang manusia untuk hidup berlebihan. Pola hidup yang dijalankan atas dasar
berlebihan dan kemewah-mewahan sehingga tidak segan menindas golongan miskin
dan lemah untuk keuntungan individual bahkan tidak peduli terjadinya
penderitaan pada orang lain itulah yang akan mendorong terganggunya keutuhan
masyarakat. Islam melarang penumpukan harta agar bisa diputar sehingga manfaat
dan kebaikanya dirasakan masyarakat
luas. Sebaimana firman Alloh dalam surah Hud ayat 116, yang artinya: “ Maka
mengapa tidak ada diantara umat sebelumnya kamu orang yang mempunyai keutamaan
yang melarang (berbuat) kerusakan di bumi. Dan orang-orang yang dzalim hanya
mementingkan kenikmatan dan kemewahan dan mereka adalah orang – orang yang
berdosa”.[2]
Didalam fiqih ekonomi Umar telah
mengisyaratkan dengan jelas tentang tujuan konsumsi seorang muslim yaitu
sebagai sarana penolong dalam beribadah kepada Alloh. Harta karunia Alloh untuk
manusia harus disyukuri. Bentuk sikap syukur kita terlihat dari sejauh mana
penyikapan kita terhadap amanah tersebut. Seorang muslim yang rasional yaitu
yang beriman semestinya anggaran konsumsi ibadahnya harus lebih banyak
dibandingkan anggaran konsumsi duniawinya. Karena dengan maksimumkan pencapaian
kemenangn (falah) adalah tujuanya.
Sebaliknya dengan semakin tidak rasioanl, maka semakin kufur sehingga semakin
besar anggaran konsumsi untuk duniawi yang pada akhirnya akan menjauhkan dari falah.
B. Perbedaan antara Kebutuhan dan keinginan
Kehendak seseorang
untuk membeli atau memiliki suatu barang/jasa bisa muncul karena faktor
kebutuhan ataupun faktor keinginan. Kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu
yang diperlukan agar manusia berfungsi secara sempurna, berbeda dan lebih mulia
daripada makhluk- makhluk lainnya misalnya, baju sebagai penutup aurat, sepatu
sebagai pelindung kaki, dan sebagainya.[3]
Disisi lain,
keinginan adalah terkait dengan hasrat manusia atau berupa harapan seseorang
yang jika belum dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi
manusia ataupun suatu barang. Misalnya, ketika seseorang membangun suatu rumah
ia menginginkan adanya warna yang nyaman, interior yang rapi dan indah, ruangan
yang longgar, dan sebagainya. Kesemua hal ini belum tentu menambah fungsi suatu
rumah tinggal, namun akan memberikan suatu kepuasan bagi pemilik rumah.
Keinginan terkait dengan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap suatu
barang/ jasa, dan hal ini bersifat subjektif tidak bisa dibandingkan antara
satu orang dengan orang lain. Perbedaan pilihan warna, aroma, desain dan
sebagainya adalah cerminan mengenai perbedaan keinginan.
Pemaknaan konsep
kebutuhan dan keinginan inilah yang menjadi pembeda antara konsep konsumsi umum
dan konsumsi Islam. Dalam ekonomi umum antara keinginan dan kebutuhan tidak
dibedakan secara spesifik. Seseorang dapat mengkonsumsi barang apapun sesuai
keinginan atau kebutuhannya selama anggarannya mencukupi. Sedangkan dalam
ekonomi islam secara tegas membedakan konsep keinginan dan kebutuhan seperti
tertera dalam tabel berikut ini.[4]
Tabel 2.1 Perbedaan kebutuhan dan keinginan.
Karakteristik |
Keinginan |
Kebutuhan |
Sumber |
Hasrat (Nafsu
Manusia) |
Fitrah
Manusia |
Hasil |
Kepuasan |
Manfaat dan
Berkah |
Ukuran |
Preferensi
atau Selera |
Fungsi |
Sifat |
Subjektif |
Objektif |
Tuntunan
Islam |
Dibatasi/Dikendalikan |
Dipenuhi |
Teori konsumsi Islami berbeda dengan konvensional. Perbedaan ini
dilihat dari karakteristik nilai konsumsi diatas. Pertama, konsumsi dalam Islam
bersumber dari fitrah manusia yang suci yang bersumber dari aturan-aturan
agama. Aturan ini mengatur apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. Bukan
berdasarkan hasrat atau nafsu. Kalau manusia melakukan kegiatan konsumsi
berdasarkan nafsu maka nafsu akan cenderung mendorongnya kepada kejelekan,
sebaliknya ketika apabila berdasarkan fitrah maka fitrah akan mendorongnya
kepada kebaikan.
Kedua, dari segi
hasil yang dicapai dalam terori ekonomi Islam adalah manfaat dan berkah,
berbeda dengan konvensional yang dituju adalah kepuasan. Perbedaannya ketika
kepuasan menjadi sasaran utama terkadang mengabaikan manfaat dan berkah,
sebaliknya ketika manfaat dan berkat yang menjadi hasil, maka kepuasan akan
mengikutinya setelah itu. Kepuasaan ini terkadang hanya berasal dari keinginan
yang mengikuti nafsu, sehingga terkadang sesuatu yang dikonsumsi tersebut
sebenarnya bukanlah berasal dari kebutuhan.
Ketiga, ukuran
dari konsumsi Islami berbeda dengan konvensional, teori konsumsi Islami berbeda
dengan konvensional, teori konsumsi Islam menjadikan fungsi sebagai ukuran,
bukan preferensi atau selera. Kebutuhan akan sesuatu berdasarkan fungsinya
bukan berdasarkan preferensi atau selera, sehingga pemenuhannya asal sesuai
fungsi atau tepat guna maka sudah tepat ukurannya. Berbeda jika ukurannya
adalah selera, selera akan membuka pintu untuk bermewah-mewah, boros, dan
mubazir, sehingga ukurannya menjadi tidak stabil.
Keempat, sifat
dari konsumsi juga berbeda, ketika konsumsi berdasarkan sifatnya maka keinginan
akan menjadi sangat subjektif karena masing- masing orang sangat berbeda keinginannya,
sementara jika sifatnya adalah kebutuhan maka lebih objektif, karena kebutuhan
akan memiliki standar dan strata tersendiri, mulai dari yang paling pokok
sampai dengan kebutuhan yang tersier atau mewah.
Kelima, dari segi
tuntunan Islam atau etika Islam keinginan harus dibatasi. Karena keinginan
manusia tidak akan ada batasnya kalau tidak dibatasi, sementara kebutuhan harus
dipenuhi. Setiap manusia secara pribadi wajib untuk berusaha, bekerja, dan
bertanggungjawab memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan pokoknya.[5]
C.
Orientasi
pada Dharuriyat Khamsa
Dharuriyat (Primer) Khamsa adalah Lima kebutuhan paling utama dan
paling penting. Kebutuhan ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia akan terancam di dunia
dan di akhirat. Lima kebutuhan ini meliputi, khifdu din (menjaga agama),
khifdu nafs ( menjaga kehidupan), khifdu 'aql (menjaga akal), khifdu
nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta).[6] Allah melarang
melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari
kelima dharuriyat itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau
mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, karenanya harus dikerjakan.
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada Allah,
kepada Rasul, kepada kitab suci, kepada malaikat, kepada hari akhir,
mengucapkan dua kalimah syahadat serta melakukan ibadah yang pokok lainya.
Untuk menjaga agama Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah
sebagaimana banyak yang ditegaskan dalam Al-Qur'an yang diantaranya pada surat
at-Taubah (9):41:
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi
kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seperti makan, minum, menutup
badan, dan mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan
segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala
usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya
disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat
menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk. Dalam hal ini Allah
melarang membunuh tanpa hak, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An'am
(6):151:[7]
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan
berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya
dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang
disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan
tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi:
رواه إبن عبد البر)) طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat.
Manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan atau
merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada kerusakan akal adalah
perbuatan buruk, karenanya dilarang syara'. Dalam hal ini Allah mengharamkan
meminum minuman memabukkan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat
mengganggu akal.
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu
diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan
baik. Segala usaha yang mengarah pada peniadaan atau perusakan harta, adalah
perbuatan buruk yang dilarang. Dalam hal ini Allah melarang mencuri, dan sanksi
bagi pencuri adalah dengan potong tangan seperti firman-Nya dalam surat
al-Maidah (5):38:[8]
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا
كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Untuk kelangsungan kehidupan manusia, perlu adanya keturunan sah
dan jelas. Untuk maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup dengan nafsu syahwat
yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara sah
adalah baik. Dalam hal ini Allah mensyari'atkan kawin dan berketurunan,
sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur (24):32:
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ وَٱللَّهُ
وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
Segala usaha yang dapat mengarah pada penghapusan atau perusakan
keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi sangat
melarang sikap tabattul atau
membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina
yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial,
menguburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan musibah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan ada dua hal yang
menjadi larangan dalam pembelanjaan harta. Yang pertama adalah sifat kikir atau
menupuk-numpuk harta. Hal ini dilarang karena akan menyebabkan kesombongan dan
kurang memiliki kepekaan sosial.
2. Hal kedua yang dilarang dalam konsumsi adalah
tindakan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Hal ini dilarang karena akan
menimbulkan rasa tidak segan untuk menindas orang tidak mampu untuk kepentingan
keuntungan individual, dan ini akan mengganggu terpenuhinya kebutuhan hidup.
3. Kebutuhan dan keinginan memiliki perbedaan.
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang apabila terpenuhi dapat mningkatkan
kesempunaan fungi manusia.
4. Sedangkan keinginan adalah terkait hasrat/nafsu atau
harapan yang apabila belum tercapai belum tentu mempengaruhi tingkat
kesempurnaan manusia.
5. Ada lima hal yang harus
terpenuhi yang mana ini menjadi kebutuan manusia, yang mana disebut juga dengan
Dharuriyya Khomsah. khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs ( menjaga kehidupan), khifdu
'aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal
(menjaga harta). Lima hal ini tidak boleh dihilangkan.
B. Saran
Dalam penulisan
makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi
penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih
perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharap kepada para pembaca
makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Subagyo, Rokhmat. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Alim’s Publishing.
al-Nabhani, Taqiuddin. 1996. Membangun Sistem
ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya:Ridalah Gusti.
P3EI. 2013. Ekonomi Islam.
Jakarta : Rajawali Pers.
Huda, Nurul. 26 Nov 2006. Perilaku Konsumsi Islam, Jurnal diskusi bulanan Fak. Ekonomi Univ.
Yarsi.
[1] Nurul Huda, Perilaku Konsumsi Islam, Jurnal diskusi bulanan Fak. Ekonomi Univ.
Yarsi, 26 Nov 2006, Hal. 23-24
[2] Nurul Huda, Perilaku Konsumsi Islam, Jurnal diskusi bulanan Fak. Ekonomi Univ.
Yarsi, 26 Nov 2006, Hal. 23-24
[3] P3EI, Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajawali Pers,2013) hal. 130
[4] Ibid. 131
[5] Taqiuddin al-Nabhani.1996. Membangun
Sistem ekonomi Alternatif Perspektif Islam. (Surabaya:Ridalah Gusti) Hal.
119
[6] Rokhmat Subagyo, Ekonomi Mikro
Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing) Hal.22
[7] Rokhmat Subagyo, Ekonomi Mikro
Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing) Hal.22
[8] Rokhmat Subagyo, Ekonomi Mikro
Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing) Hal.22
Komentar
Posting Komentar